Organization Alignment: Sebelum Budaya Organisasi Disalahkan


Kata seorang manajemen guru, "Culture eats strategy for breakfast". Peter Drucker yg sering di-quote mengatakan hal tsb dan kemudian seringkali diucapkan oleh banyak konsultan manajemen. Inilah yg menyebabkan company culture menjadi sering banget dibahas dan menjadi obsesi banyak pimpinan perusahaan.

 

Apa itu company culture atau budaya perusahaan? Mungkin sudah ada pajangan ‘culture statement’ atau ‘company values’ didinding perusahaan, tetapi apakah ini budaya? Pada kenyataannya, seringkali budaya perusahaan yg sesungguhnya tidak pernah terlihat, tetapi semua orang dalam organisasi pasti dapat merasakannya. Bahkan terkadang, pelangganpun juga akan dapat merasakannya.

 

Budaya yg sesungguhnya, tercermin pada bagaimana cara orang berbicara satu dengan yg lain dan dengan pihak luar, bagaimana setiap orang mengerjakan dan menyelesaikan tugas dan bagaimana berbagai keputusan diambil. It’s just there. Inilah yg membuat budaya real perusahaan menjadi unik dan sulit diimitasi.

 

Beberapa organisasi gets it. Mereka memiliki banyak pelanggan yg setia yg seringkali menjadi fans mereka. Karyawan mereka juga produktif dan sangat bersemangat. Terlihat organisasi2 ini memiliki masa depan cerah.

 

Pada pihak lain, cukup banyak organisasi yg merasa something is not working. Produktivitas rendah. Karyawan pasif dan malas2. Dan perusahaan tidak pernah bisa inovatif seperti tetangga sebelah. Sepertinya ada yg salah diorganisasi. Ketika gejala2 sakit yg ‘ngambang’ seperti ini mulai parah, bisa-bisa yg disalahkan adalah budaya, ‘budaya perusahaan kita gak bagus nih’. Kemudian, memanggil konsultan untuk men-‘transformasi’ budaya mereka. Terkadang dengan objektif, ingin meniru budaya kompetitor yg bagus.

 

Tetapi apakah benar inisiatif ini yg perlu diambil? Siapa tahu, mungkin sebenarnya kita tidak perlu men-‘transform’ budaya perusahaan, karena memang masalahnya bukan disitu.

 


Kalau bukan budaya, apa kemungkinan lainnya?


Benarkah budaya perusahaan tidak bagus? Padahal didinding jelas2 terpampang banyak tulisan dalam bingkai... ‘Our mission’? ada. ‘Our vision’? ada. ‘Our culture statement’? ada. ‘Our values’? ada.  Sptnya yg tertulis isinya oke-oke saja... bagus banget malah. Dan kalau dipikir2, sepertinya tidak terlalu beda dng kompetitor sebelah yg katanya punya ‘good company culture’ itu. Tapi koq gak working? Jadi salahnya dimana?

 

Jika nilai2 yg dibuat sudah benar, tapi tidak terefleksikan pada perilaku karyawan, maka mungkin saja jawabannya bisa sesederhana ini: ada ‘inkonsistensi’ pada implementasinya.

 


Inkonsistensi & Friksi


Berada diperusahaan dng budaya yg bagus itu seperti berada dipertunjukan orkestra apik. Dari maestro yg men-set dinamika yg menyentuh emosi, kontribusi setiap individu pemain instrumen musik yg bermain indah dan sinkron, hingga sang diva yg bekerjasama dng baik. Semua detail-pun tertata rapi: setiap instrumen ter-tala dng baik, akustik gedung sempurna dan kenyamanan penonton diperhatikan... keseluruhan experience: Sempurna! If they got it right: you felt it, you enjoyed it and the whole experience is worth it. Sangat mirip dng budaya.

 

Jadi bisa dibayangkan, jika ada satu saja yg tidak konsisten, maka akan langsung menganggu. Ini yg saya maksud dengan ‘inkonsistensi’. Satu saja instrumen musik yg tidak tertala akan mengganggu dikuping, apalagi kalau ada pemain instrumen yg tidak sinkron. Atau, jika sang maestro tidak bersemangat dalam memainkan dinamika, akan membosankan. Juga pada saat sang diva muncul dng ego sendiri, malah akan sangat mengganggu. Akustik mendem atau terlalu hidup akan merusak kesempurnaan output permainan orkerstra, bahkan kursi yg tdk nyaman akan juga menganggu kenikmatan.

 

Tidak ada yg salah dengan partitur musik karya komposer ternama yg berada didepan mata setiap anggota orkestra, tetapi ada inkonsistensi dalam menterjemahkan karya musik tsb menjadi sesuatu yg dapat dinikmati dan dihargai.

 

Balik ke organisasi. Organisasi yg memiliki ‘budaya baik’ sebenarnya sekedar menurunkan budaya dari tujuan organisasi yg sebenarnya. Tujuan organisasi merupakan refleksi yg lebih mendalam mengenai mengapa organisasi tersebut dibangun dan apa yg sebenarnya ingin dicapai.



Tujuan organisasi didirikan akan membentuk budaya organisasi. Budaya akan menggerakan proses kerja. Proses kerja akan membentuk perilaku karyawan. Dan perilaku karyawan akan tercermin pada cara mereka memberikan pelayanan kepada pelanggan.

 

Yg menjembatani ‘tujuan’ dan ‘perilaku’ adalah ‘proses kerja’. Dan jika ada inkonsistensi dalam konstruksi ‘jembatan’ ini, maka tinggi kemungkinan jembatan menjadi tidak kokoh, malah bisa jadi hal ini yg akan menyebabkan suatu hari jembatan ambruk. Sebagai catatan, saya mereferensikan ‘proses kerja’ secara luas, yaitu segala hal yg dpt mempengaruhi proses kerja, termasuk: systems & processes dan kondisi kerja.

 


Inkonsistensi menciptakan friksi. Friksi menciptakan ketidakpuasan. Ketidakpuasan akan mengurangi produktivitas. Ketidakpuasan juga akan tercermin di front line, spt karyawan sales dan customer service.

 

Biasanya, pada organisasi yg memiliki konsistensi antara apa yg diinginkan dengan bagaimana mengerjakannya, tidak akan ada friksi antara bagaimana para eksekutif berpikir dan mengambil keputusan dengan cara karyawan berperilaku sehari-hari di lapangan dan diseluruh bagian organisasi. Bagaikan orkestra tadi, apa yg dipikirkan dan dirasakan oleh maestro akan dapat diterjemahkan oleh masing2 pemain yg kompeten memainkan berbagai alat musik yg ter-tala dengan baik dan saling mengisi, sehingga menghasilkan perpaduan suara yg harmonis.

 

 

Organizational Alignment


Jadi, jika gejalanya adalah produktivitas karyawan rendah, tidak punya motivasi kerja, daya juang rendah, maka ada kemungkinan penyebabnya adalah inkonsistensi. Jika benar inkonsistensi, maka kemungkinan obatnya adalah alignment.

 

Alignment bukanlah inisiatif yg bersifat quick fix, krn keseluruhan organisasi perlu dikaji, minimal dilihat—tidak boleh ada yg terlewat atau disembunyikan. Sebagai indikasi awal, jika segala sesuatu di-organisasi sudah ter-align dengan baik maka seluruh karyawan dan pelanggan akan mengatakan mereka mendapatkan pengalaman yg baik dalam organisasi (good employee experience & customer experience). Inilah yg dimiliki organisasi dengan budaya yg baik.

 

Untuk memastikan alignment, kita perlu mengkaji pada setidaknya 3 hal dalam organisasi: leadership team alignment, operational alignment dan employee alignment.

 


Leadership Team Alignment


Memang akan menjadi sedikit lebih mudah, jika founder dan para eksekutif sudah sejak awalnya ter-align satu sama lain. Align dalam cara berpikir dan bertindak.

 

Leadership team yg align sangat kritikal agar tidak menimbulkan kebingungan di-organisasi. Seperti dalam orkestra hanya ada satu maestro agar musik harmonis, maka output dari dari leadership team harus selalu berupa satu kesatuan. Tidak bisa ada mixed messages.

 

Berikut langkah2 yg dapat digunakan untuk melakukan leadership team alignment: Pertama2 Assess level alignment/ misalignment yg ada. Berikut jenis2 pertanyaan yg bisa membantu assessment ini: Menurut anda, apa yg menjadi prioritas organisasi? Seberapa baik tim men-challenge satu dng yg lain? Seberapa baik unit bisnis atau fungsi yg ada bekerja sama? Apakah masing2 mengerti tantangan yg dihadapi anggota tim lainnya?

 

Kemudian Engage untuk mencari root cause dibelakang level misalignment tsb. Terkadang analisis menunjukan issue yg sederhana spt setiap anngota leadership team hanya membutuhkan kejelasan mengenai goals dan accountabilities masing2. Tetapi juga tidak jarang, issue berhubungan dng seberapa efektif hubungaan antar anggota leadership team tsb.

 

Setelah mengetahui root-cause terhadap misaligment, perlu Commitment untuk perbaikan. Commitment untuk melakukan perubahan/ penyeseuaian perilaku dan/atau langkah2 nyata lainnya. Commitment ini merupakan langkah paling penting dan bisa jadi juga tersulit, karena terkadang mengambil tough decision, spt mengganti beberapa personil untuk memastikan commitment ini tercapai.

 

Jika anda founder atau eksekutif tertinggi, pastikan alignment leadership team ini menjadi perhatian utama. Jangan melangkah lebih lanjut sebelum hal ini selesai, karena jika tidak, inisiatif2 berikutnya hanya akan sekedar membuang waktu dan biaya.

 

Operational Alignment


Setelah leadership team ter-align maka kita dapat mulai fokus pada level yg lebih operasional. Untuk melakukan operational alignment, bayangkanlah seperti bermain jigsaw puzzle. Tentunya banyak sekali potongan2 puzzle, termasuk kebijakan, prosedur operasional, sistem informasi, instruksi kerja, dsb.

 

Biasanya daripada bingung melihat banyaknya potongan2 puzzle, kita akan mulai dng fokus membentuk pinggiran dahulu. Sama, untuk sedikit mempermudah dan menjawab pertanyaan ‘kita perlu mulai dari mana?’ Maka yg bisa digunakan sebagai bentuk pinggirannya adalah tiga hal ini: structure, performance measurement dan reward, sbb:

 


Ketiga hal ini akan membentuk bagaimana kita meng-organisir fungsi2 yg ada (structure), bagaimana kita mendefinisikan dan mengukur kinerja—apa yg perlu menjadi fokus pekerjaan masing2 (performance measure) dan bagaimana kita meng-evaluasi dan reward karyawan2 yg berperilaku sesuai (reward). Ketiga hal ini akan berpengaruh dalam membentuk rutinitas karyawan di organisasi. Dengan rutinitas yg terbentuk, maka akan menjadi habit. Dan tentunya habit yg akan membentuk perilaku karyawan menjadi konsisten.

 

Setelah ketiga hal tsb terbentuk—rapi dan align, maka akan menjadi petunjuk kearah mana analisis lanjutan perlu diambil. Dan potongan2 puzzle lainnya bisa mulai sedikit demi sedikit dilihat, dianalisis dan tentunya ditempatkan pada posisi yg tepat agar tersambung satu sama lain. Mengerti rantai nilai (value chain) diperusahaan dan industri akan sangat membantu untuk memastikan tidak ada yg terlewatkan.

 

Pendekatan untuk perusahaan kecil maupun besar akan mirip saja (logika untuk menyelesaikan jigsaw puzzle dng 100 potongan dan 10,000 potongan akan sama saja, meskipun gambar yg berbeda akan memiliki kompleksitas berbeda; dan tentunya makin banyak potongannya, akan makin perlu waktu untuk menyelesaikannya).

 

Employee Alignment


Setelah operational alignment selesai—atau bisa juga dilakukan secara paralel—kita perlu fokus pada alignment setiap individu dengan organisasi. Bagaikan para pemain instrumen musik dalam orkestra tadi, setiap individu harus benar2 memenuhi standar2 tertentu agar dapat berkontribusi penuh. Kompetensi menjadi hal yg penting dan kecocokan profil individu dengan profil pekerjaan juga perlu menjadi pertimbangan.

 

Dalam inisiatif ini, asesmen secara lengkap dan menyeluruh perlu dilakukan. Temasuk melihat kombinasi profil yg optimal yg dibutuhkan dalam satu tim. Jangan sampai ada tim dng hanya satu jenis profil, krn kemudian akan timbul resiko kinerja tim tidak sesuai dng yg diinginkan. Contoh, tidak bisa satu tim berisi ‘analis’ semua, krn mereka akan ingin segalanya sempurna sehingga tidak akan maju2. Atau, tidak bisa juga semua ‘cheerleader’, karena meskipun outputnya akan sekilas terlihat indah tetapi tidak ada analisis mendalam, sehingga keropos dan tidak berbobot. Juga tidak bisa semua ‘directive’ krn akan banyak berdebat tapi tidak ada yg bisa kerja ‘actual’.

 

Demikian kira2 gambaran untuk melakukan organizational alignment. Memang belum tentu inisiatif alignment akan selalu besar dan kompleks. Terkadang, hanya membutuhkan sedikit alignment dilevel puncak atau sedikit perbaikan pada design insentif atau mengganti beberapa karyawan inti. Tetapi bisa juga solusinya adalah mengganti core system, finance system atau HR system dengan aplikasi yg lebih fit dng kebutuhan organisasi. Itulah sebabnya kita perlu melihat dan mengkaji setiap komponen dalam satu organisasi.