Bahas Buku Filosofi Teras
Sedikit latar belakang
Menurut saya, buku Filosofi Teras membahas suatu filosofi yang cukup unik. Memang dari judulnya saja sudah unik, apalagi kalau sudah membaca dan mempelajari isinya. Filosofi Teras ini membahas berbagai cara berpikir dan kiat dari jaman old untuk mendapatkan kehidupan yang baik dijaman now. Yang mengagumkan adalah betapa mutakhirnya filosofi kuno ini—sebagai tulisan lama, isinya sangat 'advance', sehingga tetap sangat relevan dan sangat membantu untuk diterapkan dalam keseharian sekarang ini. Bagaikan seni antik yang tetap cantik dijaman modern.
Bagusnya, filosofi ini tidak mengenal kasta. Tiga nara sumber utama yang direferensikan dalam buku ini: Epictetus, dia sebelumnya adalah seorang budak; Seneca, seorang pegawai Negeri; dan Marcus Aurellius, seorang kaisar Romawi. Para tokoh filosofi teras ini menunjukan bahwa filosofi ini dapat dipahami dan diterapkan oleh siapapun: orang2 dari ‘kasta rendah’, orang2 ‘biasa’ hingga ‘penguasa berpengaruh’. Meskipun pada awalnya kasta mereka berbeda2, pada akhirnya mereka hidup memiliki kesamaannya: dengan menerapkan dan mengajarkan filosofi ini dalam kehidupan keseharian mereka, mereka menjadi orang2 yang berkehidupan baik dan berguna untuk masyarakat sekitarnya.
Saya mulai tertarik dengan filosofi ini sejak 4-5 tahun yang lalu. Ketika itu, kebetulan saya baca artikel yang mengulas buku ‘A Guide to the Good Life’ (oleh William Irvine), saya langsung ‘nge-klik’ dengan cara berpikir filosofi ini dan langsung banyak nge-google dan membaca berbagai artikel untuk mempelajari lebih lanjut. Sayang waktu itu, filosofi ini masih jarang didiskusikan di Indonesia, tetapi yang menyenangkan, belakangan ini mulai muncul orang2 yang memiliki ketertarikan yang sama. Nah kebetulan, sekitar tahun lalu Kompas menerbitkan buku ‘Filosofi Teras’ yang ditulis oleh Henry Manampiring.
Menurut saya buku dengan gaya tulisan Henry ini cocok sebagai perkenalan mengenai pemikiran2 dan prinsip2 hidup yang diajarkan filosofi ini. Henry menulis dengan gaya yang ringan, ‘nge-pop’ dan ‘milenial’. Henry, dengan cerdas, membuka buku dengan pembahasan hasil ‘Survei Khawatir Nasional’. Survey ini dilakukan Henry untuk memberikan gambaran—dengan berbasiskan data—mengenai tingkat 'kekhawatiran’ masyarakat Indonesia. Kekhawatiran yang dianalisa adalah secara umum dan pada beberapa aspek hidup seperti sekolah, pekerjaan, relationship, keuangan, sebagai orang tua, hingga politik Indonesia. Singkat kata, ternyata sebagian besar masyarakat Indonesia ‘lumayan khawatir/ sangat khawatir’ tentang hidup secara umum! Jadi jangan kaget kalau teman2 mengenal beberapa orang ‘neurotik’ dalam pekerjaan maupun lingkungan sosial keseharian.
Karena sebenarnya ‘kekhawatiran’ memiliki ‘biaya’—yang selain berupa uang, juga berupa energi pikiran, waktu dan kesehatan tubuh—berarti ‘the cost of worrying’ dimasyarakat cukup tinggi. Dan inilah salah satunya yang menjadikan buku Filosofi Teras ini relevan untuk diperkenalkan saat ini: bagaimana kita dapat mengatasi berbagai kekhawatiran dalam hidup kita masing2 dan mendapatkan hidup yang baik.
Kenapa dinamakan Filosofi Teras?
Dalam bahasa Inggris, sebenarnya filosofi ini dinamakan Stoicism. Filosofi ini diperkenalkan oleh seseorang bernama Zeno pada jaman kejayaan Romawi Kuno (sebelum masehi). Sebenarnya alasan penamaannya cukup simple: karena Zeno mengajarkan filsafat ini di sebuah teras, atau 'stoa' dalam bahasa Yunani, maka ia menamakan filosofi ini sebagai ‘filosofi stoa’ dan penulis menerjemahkannya kedalam bahasa Indonesia menjadi ‘filosofi teras’. Supaya tetap simple, dalam pembahasan ini saya juga akan referensikan ajaran filosofi ini sebagai ‘Stoisisme’ dan orang2 yang menjalankan ajarannya sebagai 'Stoik'.
Jadi apa itu Stoisisme? Apa yang dibahas dalam buku ini?
Sebenarnya yang diajarkan oleh filosofi ini adalah berbagai teknik mental (mindset) dan cara hidup yang dapat mengeliminasi (atau setidaknya mengurangi) emosi negatif (seperti kemarahan, ketakutan, kecurigaan, keresahan, ketidakpuasan) dan mengajak kita untuk fokus dalam membangun kebahagiaan yang nyata (‘inner joy’) dalam diri kita dengan selalu melakukan kebajikan (‘virtue’).
Ringkasnya, tiga hal berikut yang menjadi fokus Stoisisme untuk mendapatkan hidup yang baik:
- menghilangkan emosi negatif,
- melakukan kebajikan (‘virtue’),
- membangun kebahagiaan nyata (‘inner joy’).
Agar pembaca memiliki pengertian yang sama, ‘kebajikan’atau ‘virtue’ dimaknakan oleh filosofi ini sebagai empat hal:
- keberanian,
- kebijaksanaan,
- kemampuan menahan diri dan
- keadilan.
Simple, tidak muluk-muluk.. suatu filosofi hidup yang realistis dan pastinya dapat diterapkan oleh semua orang.
Sebagai perkenalan dan sekalian ajakan untuk membaca buku ini dan mempelajari Stoisisme lebih lanjut, saya akan mulai dengan membahas beberapa mindset inti yang menjadi pondasi Stoisisme. Setelah mindset ini benar2 kita pahami, kita akan lebih mudah mengikuti tips2 dan aplikasinya yang banyak dibahas oleh Stoisisme dan buku ini. Berikut tiga pemikiran inti pemikiran yang menjadi pondasi Stoisisme:
1. Hidup sesuai esensi dasar
Filosofi ini percaya bahwa mahluk hidup perlu selalu hidup selaras dengan alam—sesuai ‘nature’-nya... sesuai 'esensi dasar’ mereka diciptakan.
Salah satu esensi dasar manusia adalah hidup dengan menggunakan nalar, akal sehat dan rasio. Jadi, agar hidup sesuai dengan esensi dasar, kita harus selalu hidup dengan ‘sadar’—hidup dengan selalu menggunakan nalar dan melakukan ‘kebajikan’.
Berarti, kita harus selalu dengan ‘sadar’ menjaga diri agar jangan sampai kita terperangkap dalam situasi dimana kita tidak menggunakan nalar dalam bertindak.
Selain memiliki nalar, secara esensi dasarnya, manusia adalah mahluk sosial. Oleh sebab itu, akan percuma saja kalau seseorang sebenarnya bijak dan serba tahu, tetapi mengisolasi diri dari manusia lainnya. Atau sebaliknya, kehidupan sosial seseorang aktif sekali, tetapi tidak menggunakan nalar dan sering dikuasai emosi negatif, seperti sering iri hati dan marah2.
2. Fokus pada hal2 yang bisa kita kendalikan
Konsep mengenai kontrol dan hal2 yang bisa kita kendalikan ini sangat sentral dalam Stoisisme. Dalam bersikap, kita perlu selalu membedakan hal-hal dalam hidup yang bisa kita kendalikan dan yang tidak...
§ Hal2 dalam kendali kita, berupa segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita sendiri, termasuk:
- pertimbangan (judgment) kita;
- opini dan persepsi kita;
- keinginan kita dan tujuan kita.
§ Hal2 yang tidak dibawah kendali kita, berupa segala sesuatu yang diluar pikiran dan tindakan kita, a.l.:
- kondisi kita lahir (orang tua, jenis kelamin, etnis);
- peristiwa alam (cuaca, gempa bumi);
- tindakan orang lain, opini dan persepsi orang lain.
§ Hal2 yang sebagian bisa kita kendalikan. Dalam penerapannya, kita perlu sadar dan dapat membedakan tujuan dari dalam diri kita (internal goal) dengan hasil (outcome) eksternal. Contoh:
- Keberhasilan dalam perlombaan. Dimana kita sudah berlatih dengan optimal (dalam kendali) dengan harapan akan menang dalam perlombaan (internal goal). Apakah pada akhirnya benar menang atau kalah merupakan outcome eksternal (diluar kendali).
- Keberhasilan kita dalam pekerjaan, sekolah, hubungan sosial.
Memang pada umumnya, semakin baik kita mengerjakan sesuatu (mengejar internal goal) maka semakin besar peluang kita mendapatkan hasil (outcome) yang kita harapkan. Tetapi dengan tetap menyadari bahwa outcome—hasil akhir—sebenarnya diluar kendali langsung kita, saat kita gagal karena faktor dan variabel external, maka kita tidak perlu berlarut meratapi kegagalan tersebut. Move on.
Inilah 'pasrah' versi seorang Stoik—kita perlu selalu melakukan yang terbaik yang ada dalam kontrol kita dengan harapan mendapatkan hasil yang terbaik. Selebihnya kita serahkan pada ‘semesta’. Jadi tidak perlu emosional dan drama jika hasil jerih payah kita ternyata tidak sesuai harapan.
Pandangan filosofi ini mengenai kendali bukanlah semata mengenai kemampuan kita mendapatkan sesuatu, tetapi lebih dititikberatkan mengenai kemampuan kita untuk mempertahankan sesuatu. Jadi perlu kita sadari dan pahami apakah sebenarnya kita memiliki 100% kontrol untuk mempertahankan apa yang kita miliki. Sebagai contoh:
- Meskipun kita sudah membangun usaha dengan kerja keras dan sudah sukses, karena pandemi yang datang mendadak, pendapatan tiba2 tergerus secara drastis dan terpaksa usaha ‘sukses’ tersebut kita tutup; atau
- Meskipun kita sudah rajin berolahraga, makan sehat dan sudah memiliki kesehatan sudah optimal, tiba2 ditabrak mobil atau tertular virus.
- Punya suatu koleksi mahal dirumah, tiba2 menjadi korban kebakaran.
Menurut filosofi ini, menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan (perlakuan orang lain, opini, status, popularitas) adalah tidak rasional. Padahal sesuai ajaran pada poin pemikiran pertama: kita perlu hidup sesuai esensi dasar kita diciptakan... dan sebagai manusia, berarti kita perlu selalu hidup secara rasional.
Mengenai Atribut
Masih berhubungan mengenai kendali: kekayaan, gelar atau pangkat seseorang—karena ini semua adalah hal-hal eksternal, sekedar atribut dan sebenarnya diluar kendali—maka itu semua tidak bisa digunakan untuk menilai hidup seseorang.
Baik atau buruknya seseorang lebih terletak pada hal2 yang ada dibawah kendalinya secara langsung—pemikiran, opini, interpretasi, tindakan dan perkataan—dan bukan atributnya.
Inilah pandangan yang sangat menarik dan benar2 inklusif dari filosofi ini. Dengan menyadari apa yang dibawah kendali, maka semua orang—apapun kondisinya saat ini—memiliki kapasitas yang sama dalam mendapatkan kebahagiaan dan menjalankan hidup yang baik.
Mengenai Indifference
Selanjutnya filosofi ini juga membahas mengenai konsep indifference (terjemahan langsung: tidak ada bedanya/ sama saja/ ‘cuek’) dan perlunya kita selalu menyadari akan sifat dasar dari benda2 yang ada disekeliling kita. Seorang Stoik akan memperlakukan benda2 tersebut apa adanya dan tidak berlebihan—gelas untuk minum, smartphone untuk komunikasi, mobil untuk transportasi—memang ada gelas atau smartphone atau mobil yang harganya mahal sekali, tetapi fungsinya tetap sama.
Dengan pandangan indifference ini bukan berarti kita tidak dapat menikmati keberhasilan, posisi, kekayaan, barang2 dan gadget2 bagus. Filosofi ini mempersilahkan kita menikmati rejeki yang kita dapatkan, tetapi seorang Stoik akan selalu mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak bergantung kepada keberadaan hal2 tersebut (menghindari attachment). Sekali lagi, disini nalar/ rasionalitas kita menjadi penekanan Stoisisme.
Konsep indifference ini dapat diterapkan juga pada cara kita memandang manusia dan mahluk hidup lainnya. Karena secara nature mahluk hidup adalah fana (bisa mati), maka ketika kematian datang, semestinya kita tidak perlu sedih berkepanjangan.
Malah sebaliknya, dengan memahami pandangan ini (bahwa semua mahluk hidup akan mati), maka dengan sadar kita perlu menghargai setiap momen bersama dan tidak ‘take for granted’ keluarga dan teman2 kita—jangan sampai kita menganggap remeh keberadaan mereka, untuk menghindari penyesalan berkepanjangan ketika mereka meninggal. Sekali lagi, yang bisa kita kendalikan adalah sikap kita kepada orang lain.
Dengan pandangan ini, kita bisa menghindari tendensi menggantungkan 'kebahagiaan' dan ‘kesuksesan’ pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan
Mengenai Keinginan dan Kekayaan
Epictetus menulis: “Wealth consists not in having great possessions, but in having few wants.” Dan Seneca menulis: “If you live according to what others think, you will never be rich.”
Dalam pandangan seorang Stoik: ada yang lebih nikmat dan berharga daripada keinginan yang terpenuhi, yaitu tidak adanya keinginan itu sendiri. Filosofi ini mengajarkan bahwa sebenarnya kekayaan adalah suatu kondisi atas ‘kebebasan dari keinginan’.
Kembali kepada konsep kendali: agar dapat mengurangi keinginan, kita perlu sadar dan mengenali betul apakah sebenarnya yang kita inginkan... Apakah sebenarnya yang kita inginkan adalah hal2 yang diluar kendali kita?
Jadi, solusi untuk iri (‘jealous’) adalah dengan belajar untuk meng-ingin-kan apa yang kita sudah miliki, daripada meng-ingin-kan hal lainnya.
3. Mengendalikan Interpretasi
Melanjutkan konsep mengenai kontrol, Epictetus menjelaskan, sebenarnya segala keresahan dan kekhawatiran kita hanya ada dalam pikiran kita. “It is not things that trouble us, but our judgment about things.”
Kekhawatiran sebenarnya tidak berhubungan dengan hal atau peristiwa eksternal yang kita alami, seperti ban motor kempes, padahal masih jauh dari kantor dan sudah mepet mau rapat penting. Atau rumah kebanjiran. Atau berasa gak ada apa2, tiba2 dipanggil dan dimarahin bos.
Filosofi ini memisahkan apa yang ditangkap oleh indra kita (impresi) dan interpretasi-nya (makna-nya). Biasanya kita memberikan interpretasi (penilaian) terhadap suatu peristiwa yang kita alami. Peristiwa itu sendiri biasanya netral (apa adanya—tidak baik dan tidak buruk), tetapi dapat menjadi positif atau negatif karena interpretasi dan makna yang kita berikan.
Contoh seorang Jawa bertemu pertama kali dengan seorang Batak. Orang Batak tersebut berbicara dengan keras, lantang dan cuek. Cara bicara ini bagi dirinya adalah ‘netral’. Tetapi orang Jawa sebagai lawan bicaranya, menginterpretasikan orang tersebut ‘kasar’. Sebenarnya penilaian keduanya tidak benar. Bicara keras adalah fakta objektif, tetapi ‘kasar’ atau ‘netral’ adalah penilaian subjektif.
Contoh lain: seseorang kena PHK dan secara otomatis langsung down atau marah. Pikiran yang terlintas: ‘hidup saya selalu sial, kerjaan saja gak bisa saya pertahankan’ atau ‘kiamat, habis sudah hidupku’ atau ‘kurang ajar, memang bos sudah gak suka dengan saya dari dulu’. Sekali lagi, pikiran2 ini adalah opini dan interpretasi kita sendiri.
Marcus Aurelius menulis: “Jika kamu merasa susah karena hal eksternal, maka perasaan susah itu tidak datang dari hal tersebut, tetapi oleh pikiran/ persepsimu sendiri. Dan kamu memiliki kekuatan untuk mengubah pikiran dan persepsimu kapanpun juga.”
Tulisan Marcus, mereferensikan balik bahasan mengenai kontrol. Kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari hal-hal yang bisa dikendalikan—yaitu pikiran, persepsi dan pertimbangan kita sendiri. Seharusnya, kebahagiaan tidak perlu bergantung pada hal-hal eksternal.
Meneruskan contoh PHK, sebenarnya jika kita tenang, sadar dan rasional, kita bisa mengubah persepsi kita menjadi: ‘ini kesempatan mengubah karir ke bidang yang saya mau’, atau: ‘lumayan dengan pesangon saya bisa coba bisnis online’, atau ‘ini ujian bagi kesabaran dan keuletan saya agar tidak terulang dimasa depan’.
Pada prakteknya memang tidak mudah, karena sangat seringnya interpretasi muncul secara otomatis yang berakhir pada emosi negatif. Cara satu2nya adalah kita perlu secara aktif dan sadar untuk selalu belajar mengendalikan interpretasi kita terhadap suatu peristiwa. Sekali lagi, nature manusia adalah menggunakan nalar—jika kita tidak menggunakan nalar, maka sebenarnya kita tidak begitu berbeda dengan binatang.
Sebagai rangkuman, biasanya inilah yang terjadi:
PERISTIWA --> INTERPRETASI OTOMATIS --> EMOSI NEGATIF.
Dengan sadar dan menggunakan nalar, maka dpt kita ubah menjadi:
PERISTIWA --> INTERPRETASI RASIONAL --> EMOSI POSITIF.
Demikian beberapa inti pemikiran Stoisisme yang dibahas dalam buku ini. Meskipun cukup sederhana, kebayang akan lumayan menantang untuk dipraktekan. Untuk itulah, dalam bab2 selanjutnya dibahas berbagai teknik dan tips praktis untuk melatih mindset kita, yang mencakup:
- bagaimana memperkuat mental
- hidup diantara orang yang menyebalkan
- menghadapi kesusahan dan musibah
- menjadi orang tua (parenting)
- menjadi warga dunia (citizen of the world)
- tentang kematian.
Sepertinya agar relevan dan punya rasa lokal, penulis juga menyelipkan beberapa wawancara dengan beberapa blogger dan pengusaha muda Indonesia yang mempraktekan Stoisisme—bagaimana filosofi ini membantu mereka menjawab berbagai tantangan yang mereka hadapi dan bagaimana filosofi ini berguna untuk kehidupan mereka. Jadi cukup lengkap dan menarik untuk segera dibaca bukunya.
Penutup
Stoisisme menitikberatkan pada kesadaran dan perubahan mindset yang berujung pada action. Karena mengubah mindset membutuhkan proses dan waktu, maka semakin sering dipraktekan dan semakin banyak latihan, mindset yang benar akan semakin terbentuk. Oleh sebab itulah kebanyakan Stoik adalah 'work in progress'—kebanyakan masih belajar untuk selalu sadar dan menggunakan nalar.
Yang terpenting adalah kita sudah terbangun dan lebih sadar, jadi setiap ada tantangan, kita dapat segera mencoba menahan diri dan mencoba mempraktekan filosofi ini.
Dengan mempraktekan filosofi ini, kita akan menjadi lebih tahan banting (resilient), lebih bijak dan lebih bahagia dan kita bisa mendapatkan hidup yang lebih baik. Jadi, jika teman2 tertarik untuk mempelajari lebih lanjut, saya rekomendasikan untuk segera pesan atau pinjam dan langsung saja dibaca.
Sebagai penutup, saya akan mencantumkan beberapa quote dari para Stoic yang menjadi bahan bahasan dalam filosofi teras ini:
Epictetus:
“We should always be asking ourselves: ‘Is this something that is, or is not, in my control?’”
“Anything or anyone capable of angering you becomes your master.”
“It’s not what happens to you, but how you react to it that matters.”
“Wealth consists not in having great possessions, but in having few wants.”
“Don't demand that things happen as you wish, but wish that they happen as they do happen. And you will go on well”
Seneca:
“A gem cannot be polished without friction, nor a man without trials.”
“It’s not because things are difficult that we dare not venture. It’s because we dare not venture that they are difficult.”
“We suffer more often in imagination than in reality.”
Marcus Aurelius:
“You have power over your mind—not outside events. Realize this, and you will find strength.”
“If you are pained by any external thing, it is not this thing that disturbs you, but your own judgment about it. And it is in your power to wipe out this judgment now.”