Personal Renewal


Sekarang ini sepertinya kita sudah tidak perlu lagi bertanya apakah suatu organisasi perlu dapat berubah—karena jawabannya sudah jelas—tapi lebih penting untuk bertanya: bagaimana suatu organisasi dapat lebih efektif mengelola perubahan.

Supaya selalu ‘fresh’, yang diubah dan diperbaharui juga sudah seharusnya lebih dari sekedar mengubah logo dan tampilan website, merenovasi kantor supaya lebih cool dan fun atau mengimplementasi aplikasi yang paling gress. Itu semua memang perlu, tapi baru sekedar menyentuh hal2 pada lapisan permukaan yang terlihat—dan juga lebih mudah dikerjakan karena organisasi tersebut bisa saja membayar vendor untuk menyelesaikannya. Untuk menjadikan suatu pembaharuan lebih berarti, maka perlu dilakukan secara lebih mendalam dan mendasar. Bagaimana mengelola hal yang lebih mendalam inilah yang sering menjadi tantangan banyak organisasi.

Kita kadang2 lupa, kalau organisasi itu hidup. Organisasi dijalankan oleh manusia2 yang bekerja didalamnya. Oleh sebab itu, akan sangat sulit untuk suatu organisasi melakukan pembaharuan, jika sumber daya manusia didalamnya tidak pernah melakukan pembaharuan terhadap diri mereka sendiri. Apalagi jika organisasi tersebut sudah terlalu lama dibiarkan berjalan begitu saja—selalu berada pada mode: ‘business as usual’. Sepertinya makin hari makin banyak saja karyawan2 yang cara berpikir dan bertindaknya begitu-begitu saja—mereka hanya sekedar bekerja dan menerima bayaran. Hal2 yang sangat memprihatinkan!

Untuk membahas pentingnya melakukan pembaharuan diri, saya akan mengadopsi isi sebuah pidato lama mengenai ‘Self Renewal’ yang pernah dibawakan oleh John W. Gardner di McKinsey pada thn 1990. John sendiri dulunya adalah Menteri Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan (Secretary of Health, Education and Welfare) dibawah Presiden Amerika Serikat ke 36. Melalui buku2nya, dia selalu mendorong para pembacanya untuk menyelesaikan hal2 yang penting dengan kreativitas dan energi lebih—tidak cukup hanya aktif tapi perlu efektif

Mengapa Pembaharuan Diri?

John percaya kalau pembaharuan diri adalah sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan oleh setiap orang. Dalam bukunya yg juga berjudul ‘Self-Renewal’, dia membahas pertanyaan kenapa sebagian orang hidupnya semakin hari semakin redup. Seperti mati perlahan2—sekarat tanpa mereka sadari. Sedangkan sebagian lagi memiliki kehidupan yang ‘benar2 hidup’—hidup mereka seperti tidak pernah ada matinya. Menurut John, kondisi2 ini sangat erat hubungannya dengan proses pembaharuan diri. Mungkin kita pernah menemukan hal2 ini:

Orang2 yang sedang berada ditengah karir mereka, tapi seperti mulai kehabisan bensin. Hal2 yang juga sering dialami oleh orang2 yang memegang posisi dan tanggungjawab tinggi. Mungkin mereka tidak akan mengakui, tapi mereka sebenarnya sudah kalah. Tanda2 yang muncul: mulai gampang tersinggung, gampang putus asa, cepat sakit hati atau bisa juga belakangan cara berpikir dan berbicara mereka menjadi lebih sinis. Mereka seperti sudah lupa apa yang sebenarnya sedang mereka perjuangkan—seakan2 mereka sudah berlari segitu jauh dan lamanya, tapi kemudian lupa sebenarnya mereka sedang berlari untuk apa dan menuju kemana, sehingga yang mereka rasakan hanya frustrasi dan capeknya saja.

Orang2 yang sepertinya sangat sibuk tapi, tanpa mereka sadari, sebenarnya mereka sudah tidak belajar dan berkembang lagi. Orang2 yang sepertinya selalu bergerak, meskipun sebenarnya hanya bergerak ditempat. Cukup banyak orang2 dalam dunia kerja yang berkomentar: “Koq bisa ya, saya bosen banget, padahal saya sibuk sekali?” Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebosanan adalah penyakit dalam suatu organisasi—cukup banyak orang yang sebenarnya lebih bosan dari yang mereka mau akui. 

Orang2 yang tidak sadar mengenai bahaya dari berpuas diri. Sepertinya mungkin saja ini yang juga terjadi pada rekan2 kerja kita yang makin hari makin kaku dan makin terpenjara dalam kenyamanan dan kebiasaan mereka sehari-hari. Cukup banyak orang2 yang tampaknya sukses tapi, tanpa mereka sadari, sebenarnya sekedar terapung dalam zona nyaman dan hanya sekedar menjalankan rutinitas hidup mereka. Mereka sudah tidak ada lagi keinginan untuk melakukan sesuatu yang berbeda untuk bisa lebih berkembang.

Orang2 yang sepertinya terperangkap dimasa lalu. Mungkin mereka pernah melakukan suatu kesalahan besar atau mengalami suatu kegagalan sehingga banyak menghadapi drama dalam pekerjaan atau kehidupan mereka sebelumnya. Mereka ini seperti sudah mengakumulasi begitu banyak kekesalan dan begitu banyak keluh kesah dari dari masa lalu mereka, sehingga mereka seperti sudah terperangkap dan tidak bisa move-on lagi. Padahal, kalau dipikir2, kejadiannya sudah lama dan sebenarnya sudah tidak relevan lagi. 

Hal2 seperti inilah yang dapat membatasi perkembangan diri seseorang—hal2 yang bisa saja terjadi kepada siapapun. Oleh sebab itu, akan menjadi sangat berbahaya jika kita tidak segera sadar bahwa hal2 yang sama bisa juga terjadi pada kita. Jika hal2 ini mulai anda rasakan, sebaiknya segera ambil tindakan. Jika didiamkan, bisa2 anda juga akan ikutan layu dan mati pelan2. Seseorang yang telah berhasil menaklukan Gunung Everest pernah mengatakan “Anda sebenarnya tidak menaklukan gunung... Anda sebenarnya hanya menaklukan diri sendiri.”

Dimulai dari Pikiran

Sebelum batere smartphone kita habis, kita perlu buru-buru charge. Segitu low-bat, banyak fitur yang mulai dibatasi. Apalagi kalau batere benar2 habis, maka smartphone kita sudah tidak ada ‘smart’-nya lagi. Mirip, kondisi batere kita—mind dan body—perlu selalu kita jaga dan menjadi sangat penting untuk di-charge—diperbaharui—secara terus menerus. 

Untuk melakukan pembaharuan diri, pertama-tama, kita perlu membentuk pola pikir kita (mindset) dengan benar. Pola pikir dapat terus menerus kita perkuat dan kembangkan dengan selalu belajar seumur hidup kita. Kunci agar dapat berkembang terus adalah dengan terus belajar.

Jangan membatasi hanya belajar pada saat lebih muda—ada pepatah yang mengatakan, “apa yang kamu pelajari setelah kamu tahu, itulah yang lebih bermanfaat”. Jangan juga mengartikan kata ‘belajar’ dengan sempit. Belajar tidak terbatas hanya untuk pengetahuan dan keahlian baru, tapi belajar juga bisa dari berbagai kejadian yang kita alami. Belajar dari kegagalan dan belajar dari kesuksesan. Ketika menghadapi suatu permasalahan, kita perlu selalu bertanya “kejadian ini mengajari saya apa?” Mungkin pelajarannya tidak akan selalu menyenangkan, tapi pasti akan selalu ada hikmahnya: 

Kita perlu belajar dari bertambahnya umur kita. Dari penderitaan. Dari suka cita. Pada saat kita mengambil resiko. Pada saat kita bertahan dan tabah menghadapi hal2 yang tidak bisa kita ubah. Kita perlu belajar bahwa jika kita terus-menerus menyalahkan diri sendiri, menyesali banyak hal dan banyak menyimpan rasa benci, maka kita seperti terus-terusan minum obat2 beracun.

Kita perlu belajar dan sadar, pada dasarnya kebanyakan orang hanya sekedar memikirkan diri mereka sendiri—mereka sebenarnya tidak pernah benar2 melawan atau mendukung kita. Mereka hanya sekedar menjaga kepentingan diri mereka sendiri. Kita juga perlu sadar bahwa akan ada saja orang2 yang tidak akan pernah menyukai kita—seberapa keraspun kita mencoba. Pelajaran2 yang awalnya berasa sangat mengganggu, tapi jika kita cepat sadari, maka pelajaran2 ini akan sangat membebaskan kita.

Kita perlu belajar untuk dapat selalu berdamai dengan diri sendiri. Mungkin kita tidak bisa menyelesaikan semua permasalahan yang kita hadapi, tapi kita bisa belajar untuk selalu memegang kendali sehingga kita dapat tetap berfungsi dan tetap produktif—tanpa perlu menyalahkan atau mengorbankan orang lain. Suka atau tidak suka, diakhir setiap kejadian kita akan selalu bertemu dengan diri kita sendiri.

Kita perlu belajar menjaga pola pikir kita agar kita tidak perlu terlalu terpengaruh oleh berbagai peristiwa yang sebenarnya tidak bisa kita kendalikan. Hal yang pastinya tidak mudah dan mungkin akan perlu dibangun bertahun-tahun, tapi akan sangat bermanfaat. Pada saat kita mulai dapat menguasai dan mengendalikan pikiran kita, maka kita dapat mulai melihat hal2 yang simple dibalik kompleksitas yang ada. Dibalik berbagai kehebohan dan drama, pasti ada suatu kesederhanaan.

Biasanya, kita sangat sadar akan dampak orang lain terhadap diri kita, tapi sebenarnya kita juga perlu belajar untuk lebih sadar akan dampak kita terhadap orang lain. Cukup  banyak orang yang, sampai tua-pun, tidak pernah bisa mengerti dampak mereka terhadap sekitarnya. Mereka inilah yang biasanya berkomentar, “Duh, orang2 itu pada susah diajak kerja sama!”

Kita perlu sadar bahwa kegagalan adalah bagian dari cerita hidup setiap orang. Semua orang pernah gagal. Pertanyaannya apakah kita kemudian bisa bangkit dan berfungsi lagi? Ada pertanyaan yang selalu perlu bisa kita jawab: “Apakah sebenarnya saya sendiri yang menyebabkan kegagalan ini?” Karena, tanpa disadari, sebenarnya cukup sering sumber kegagalan berasal dari diri kita sendiri—pelajaran penting yang perlu selalu kita ingat. Kita perlu belajar dari orang2 yang mengatakan: “kegagalan merupakan alasan kuat untuk mencari suatu penyelesaian”.

Kita perlu segera sadar jika kita selalu bermimpi berada didunia dimana segala sesuatunya ideal dan semua orang tampil tanpa cacat. Kenyataannya kehidupan akan selalu penuh dengan kehebohan dan akan membutuhkan perjuangan—tanpa pernah adanya suatu kepastian bahwa kita akan menang. Disisi lain, kita juga perlu sadar kalau sebenarnya kehidupan itu akan terus menerus mencari keseimbangan—kadang2 kita seperti merasa sering dirugikan, tapi kalau kita mau lebih sadar, sebenarnya cukup sering juga kita menerima banyak berkat.

Memiliki Motivasi, Bukan Ambisi

Diskusi mengenai pembaharuan diri tidak bisa lepas dari diskusi mengenai motivasi diri. Motivasi tidak sama dengan ambisi. Ambisi bisa saja habis atau pada suatu waktu akan hilang, tapi dengan motivasi kita akan bisa selalu bersemangat sampai mati. Tidak cukup untuk 'be interesting'—menjadi seseorang yang menarik, tapi lebih penting untuk selalu 'be interested'—menjadi seseorang yang selalu tertarik. Untuk selalu penasaran, selalu memiliki keingintahuan yang tinggi. Untuk selalu menemukan hal2 baru. Selalu berani untuk gagal. Selalu berani untuk minta bantuan orang lain.

Jika kita mengamati orang2 dalam lingkungan kita sendiri, mungkin kita juga akan menemukan cukup banyak orang2 ‘biasa’ yang selalu melakukan hal2 yang membuat hidup mereka selalu cerah dan terlihat sekali bahwa mereka memiliki motivasi hidup yang tinggi—sekalipun beberapa dari mereka mungkin sudah cukup berumur. Inilah contoh orang2 yang selalu berhasil melakukan pembaharuan diri.

Selama kita cukup sehat, kesempatan untuk melakukan pembaharuan diri akan selalu ada. Jangan sampai anda melakukan pembaharuan diri sekedar supaya bisa lebih berkesempatan mencapai status tinggi, tapi lakukanlah lebih untuk berkembang dan memperkaya hidup anda sendiri. ‘Kaya’ yang dapat dilihat dari berbagai sudut. 

Orang2 seperti inilah yang membuat dunia lebih baik hanya dengan menjadi diri mereka sendiri. Setiap kali kita peduli melakukan pembaharuan diri dan menjadikan diri kita lebih baik, maka minimal orang2 disekitar kita dan lingkungan dimana kita berada juga akan menjadi lebih baik. Meskipun, tanpa kita sadari, bisa saja lingkaran pengaruh kita sebenarnya lebih luas lagi.

Mengenai Tujuan dan Arti Hidup

Diskusi mengenai pembaharuan diri juga tidak bisa lepas dari diskusi mengenai tujuan hidup. Kita sering mendengar nasehat kalau kita perlu punya suatu tujuan hidup yang nyata dan sangat jelas. Begitu nyatanya sehingga kita bisa memfokuskan seluruh tenaga dan pikiran kita. Kita maunya ada satu titik dipeta yang akan bilang kalau kita sudah sampai. Kita maunya punya suatu aturan permainan yang jelas—suatu sistem penilaian—yang akan mengatakan kalau kita sudah mengumpulkan cukup banyak poin untuk bisa dinyatakan sukses.

Jadilah banyak orang yang seringnya ngotot, berkeringetan untuk terus menerus mendaki supaya cepat sampai pada, yang mereka anggap, tujuan hidup. Tapi, segitu sampai di puncak dan melihat sekeliling, tiba2 mereka merasa, ‘kok cuma begini doang?’ Rasanya kosong. Dan mulailah muncul perasaan: ‘jangan2 saya mendaki gunung yang salah’.

Kehidupan bukanlah gunung yang ada puncaknya atau permainan yang ada poinnya. Kehidupan akan selalu bergulir terus menerus. Sehingga proses menemukan diri sendiri, self-discovery, juga perlu berjalan terus menerus. Dan dialog antara potensi diri kita dengan berbagai situasi dimana kita berada juga perlu terjadi terus menerus. 

Menjadi hal yang sangat penting untuk bisa mengartikan hidup kita masing-masing. John mengutip salah satu tulisannya sendiri mengenai ini:

Arti hidup anda bukanlah sesuatu yang kebetulan anda temukan, seperti anda kebetulan dapat hadiah. Arti hidup anda adalah sesuatu yang perlu anda bangun sendiri. Anda perlu membangunnya dari masa lalu anda, melalui bakti anda, melalui pengalaman anda, melalui talenta anda, melalui hal2 yang menjadi komitmen anda, melalui orang2 yang anda sayangi, melalui nilai2 yang anda selalu pertahankan. Seluruh bahan bakunya sudah tersedia, tapi andalah satu2nya orang yang dapat menggabungkannya sehingga menjelma menjadi sesuatu yang unik yang merupakan kehidupan anda. Jadikanlah kehidupan anda, pertama2, memiliki martabat dan arti bagi anda sendiri. Jika anda benar2 memiliki ini, maka bagaimanapun orang lain melihat anda—sebagai orang ‘sukses’ atau ‘gagal’—akan menjadi tidak penting lagi.

Kendali akan selalu ada ditangan anda sendiri. Jangan sampai orang lain atau lingkungan yang mendikte apa yang perlu anda lakukan untuk pembaharuan diri. Setiap orang akan menemukan cara mereka masing-masing—yang unik untuk mereka sendiri. Untuk beberapa orang, mungkin dengan sedikit menyetel pola pikir dan membangun kesadaran saja sudah cukup untuk membawa suatu perubahan yang berarti. Untuk beberapa orang lainnya, mungkin perlu mengambil tindakan lanjutan, seperti balik ke bangku kuliah untuk belajar sesuatu yang lain yang lebih sesuai passion atau memulai sesuatu yang baru. Apapun itu yang terpenting adalah segera dilakukan sebelum terlanjur menjadi layu.